Tepat lima tahun lalu, sebuah kasus kartel yang melibatkan Honda diputuskan oleh Spanish National Competition Commission (CNC) atau wasit persaingan usaha di Spanyol. CNC menetapkan Montesa Honda, S.A sebagai manufaktur Honda di Spanyol dan beberapa diler terbukti melakukan penetapan harga atau price fixing di pasar sepeda motor beberapa kota di Spanyol.
Kasus yang dimulai sejak 2010 lalu, membawa konsekuensi Montesa Honda, S.A harus membayar denda € 1,282 juta, dan enam dilernya yang masing-masing diganjar denda yang berbeda.
Serupa tapi tak sama, perkara dugaan kartel dengan skema price fixing juga sedang ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. Kali ini, Honda dan Yamaha diduga melakukan pengaturan harga penjualan motor skuter matik (skutik) 110-125 cc pada periode 2013-2014. Berbeda dengan yang di Spanyol, dugaan pengaturan harga yang melibatkan Honda justru terjadi dengan kompetitornya yaitu Yamaha.
Dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 5 ayat 1, sangat jelas melarang praktik semacam ini. "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama."
Peraturan Komisi KPPU No 4 tahun 2011 tentang pedoman pasal 5, menjelaskan, penetapan harga dilarang karena selalu menghasilkan harga yang jauh di atas harga melalui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi konsumen, secara langsung atau sebaliknya.
Dalam kondisi persaingan yang sehat, harga sepeda motor akan terdorong turun mendekati biaya produksi. Ketika harga bergerak turun mendekati biaya produksi maka pasar akan menjadi lebih efisien, efeknya akan meningkatkan penghematan bagi konsumen (welfare improvement).
Namun, ketika sekelompok perusahaan melakukan kesepakatan penetapan harga, maka harga akan naik jauh di atas biaya produksi. Dari hasil penelusuran KPPU, harusnya harga motor skutik pada periode 2013-2014 di Indonesia harganya Rp8,7 juta per unit, tapi justru dijual dengan harga Rp14-18 juta per unit.
"Pemerintah sebagai regulator (bila Honda dan Yamaha terbukti kartel) bisa menurunkan harganya sesuai dengan harga yang berlaku di ASEAN. Harga di negara-negara ASEAN itu hanya segitu (Rp8,7 juta) dan semuanya sudah dihitung include," kata anggota KPPU Saidah Sakwan dikutip dari laman Antara.
Apakah pergerakan harga menjadi bukti kuat? Tentu bukti tidak langsung (circumstantial evidence) seperti pergerakan harga motor skutik, bisa lemah dari kacamata hukum konvensional, meski dari hukum persaingan usaha sangat memungkinkan.
Dalam ketentuan KPPU dalam pasal 1, ayat 7 UU No.5 Tahun 1999 berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Namun, KPPU nampaknya belajar dari pengalaman masa lalu, perkara yang diputuskan oleh KPPU yang hanya mengacu pada bukti tidak langsung sering kalah di tingkat banding. Sehingga sangat beralasan KPPU sekuat tenaga ingin mendapatkan bukti langsung atau hard evidence termasuk dalam kasus dugaan kartel motor skutik Honda dan Yamaha. Hard evidence bisa berbentuk bukti fax, rekaman percakapan telepon, email, komunikasi video, dan bukti nyata lainnya.
Nah, pada kasus skutik, KPPU bermodal beberapa email di salah satu produsen motor yang diduga sebagai bagian dari kongkalikong harga antara kedua merek motor asal Jepang itu. Berdasarkan investigator KPPU dalam sidang pemeriksaan lanjutan terakhir pada 5 Januari 2017 lalu menduga ada pertemuan antara manajemen PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor membahas mengenai kesepakatan harga.
Menurut KPPU, Yamaha akan mengikuti harga jual Honda, yang kemudian ditindaklanjuti dengan adanya perintah melalui email yang berujung pada kenaikan harga jual skutik Yamaha yang mengikuti harga Honda. Persoalannya, bukti email ini diperdebatkan bagi Yamaha dan Honda yang sejak awal menyangkal melakukan kartel.
ANALISIS KASUS
Pada contoh kasus diatas ditemukan bahwa Yamaha dan Honda melakukan kartel, dimana harusnya harga motor skutik pada periode 2013-2014 di Indonesia harganya Rp8,7 juta per unit, tapi justru dijual dengan harga Rp14-18 juta per unit. Kejadian ini tidak perlu terjadi karena sudah ada undang-undang yang mengatur Dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 5 ayat 1, sangat jelas melarang praktik semacam ini. "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama."
Peraturan Komisi KPPU No 4 tahun 2011 tentang pedoman pasal 5, menjelaskan, penetapan harga dilarang karena selalu menghasilkan harga yang jauh di atas harga melalui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi konsumen, secara langsung atau sebaliknya. Menurut analisis kesimpulan KPPU menyatakan;
1. Menyatakan bahwa Yamaha dan Honda melakukan pelanggaran Pasal 5 Ayat (1) UU No 5 Tahun 1999.
2. Menghukum Yamaha dan Honda berdasarkan Pasal 47 UU No 5 Tahun 1999.
3. KPPU merekomendasikan untuk melarang Yamaha dan Honda menetapkan harga jual (on the road) sebagai harga referensi untuk konsumen (end user), melainkan hanya sebatas harga off the road.
4. KPPU merekomendasikan untuk memberikan saran kepada pemerintah, khususnya instansi terkait untuk melarang pelaku usaha otomotif untuk memberikan harga referensi kepada main dealer atau dealer dengan memasukkan komponen harga BBN (Bea Balik Nama) atau sejenisnya yang pada pokoknya komponen harga tersebut bukan merupakan struktur harga dari prinsipal (pabrikan).
5. Menyatakan bahwa biaya BBN dan biaya tambahan lainnya yang dipungut oleh negara dibayarkan atas dasar pilihan konsumen, apakah akan dibayarkan sendiri atau melalui diler.
Kesimpulan
Dan Saran
Kesimpulan
Dalam
beretika bisnis perusahaan memiliki peranan yang sangat penting, yaitu membentuk
suatu perusahaan yang kokoh dan dapat menciptakan nilai yang tinggi, diperlukan
suatu landasan yang kokoh. Seperti pada kasus Yamaha dan
Honda sudah
melakukan pelanggaran etika bisnis dengan melakukan
kartel pada produk
mereka yang berdampak buruk pada konsumen penggunanya. Yamaha dan
Honda telah
membohongi publik, dimana perusahaan mempromosikan produknya dan menawarkan harga yang sangat tinggi di bandingkan dengan harga aslinya.
Saran
Bagi
perusahaan yang melanggar etika bisnis contoh kasus pada Yamaha dan Honda, sebaiknya
membenahi perusahaan nya agar prinsip-prinsip etika bisnis dapat berjalan
dengan baik sehingga tidak timbul pelanggaran-pelanggaran lain. Agar dapat
menjadi contoh yang baik bagi perusahaan-perusahaan yang lain. Dan sebagai
contoh agar tidak mengikuti kesalahan seperti perusahaan tersebut.
Referensi: